Suasana kantor yang ceria mendadak berubah saat Abdullah masuk dengan wajah gundah. Tak seperti biasanya, raut mukanya tertekuk. Gurat kesedihan menggelayut laksana awan gelap yang siap menumpahkan hujan.

“Kamu kenapa?”
“Motorku hilang”
“Kapan?”
“Sejak kemarin …” Abdullah pun menceritakan kejadiannya.

Awalnya teman yang baru dikenalnya pinjam motor untuk suatu keperluan. Sebentar, katanya. Namun hampir satu jam belum kembali. Abdullah mulai cemas, khawatir terjadi apa-apa dengan orang itu. Ditelpon, HP-nya tidak aktif.

Dua jam berlalu. Abdullah semakin cemas. Apakah orang itu kecelakaan? Jarak tujuan yang hanya beberapa kilometer mestinya bisa ditempuh 20 menit PP. Kenapa dua jam belum kembali? Mana HP-nya tidak bisa dihubungi lagi.

Tiga jam sudah. Abdullah kian gelisah. Ia mulai curiga, jangan-jangan motornya dibawa lari. Ia baru mengenal orang itu. Dikiranya orang baik karena penampilannya mirip anak Rohis. Berjenggot tipis, tidak berkumis. Aslinya luar kota. Di sini ia kos dan infonya sedang cari kerja.

Abdullah mengingat-ingat, tadi katanya ia kos di perumahan sebelah. Dekat sebuah sekolah. Ia pun mencarinya ke sana. Lebih dari tiga orang ia tanya, hingga akhirnya ia bisa menemukan tempat kosnya.

“Sejak tadi siang ia tidak di sini, Mas. Kalau boleh tahu, ada apa nggih?”
“Motor saya dibawa empat jam yang lalu. Sampai sekarang tidak bisa dihubungi.”
“Waduh, hati-hati, Mas. Dulu ia pernah dicari orang karena kasus serupa. Makanya pindah kos ke sini.”
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”

Informasi itu membuat Abdullah merasa sedikit linglung. Motor yang baru dua bulan dibelinya dari tabungan bertahun-tahun terancam hilang.

Sampeyan sudah lapor polisi?” tanya Rijal usai mendengar cerita Abdullah.
“Belum. Kalau bisa sih tidak sampai urusan polisi. Apalagi kalau sampai nanti polisi datang ke rumah, ketemu Ibu. Saya tidak mau melihat beliau sedih.”
“Berarti ibumu belum tahu?”
“Sudah. Tapi tahunya hanya dipinjam teman.”

Sampeyan sudah sedekah?” tanya Muslim.
“Sudah. Tadi di masjid.”
“Dua ribu?”
“Kok tahu?”
“Tahu lah. Kan umumnya sedekah ke kotak amal Masjid dua ribu.” Abdullah tersenyum. Senyum pertama sejak mereka bertemu hari ini.

“Dalam kondisi kena musibah begini, sedekahmu harus pol-polan agar Allah menurunkan pertolongan,” lanjut Muslim.
Pol-polan itu berapa?”
“Sedekah seluruh isi dompet.”
“Saya cuma punya uang 150.000”
“Sedekahkan semua.”
“Itu jatah makanku hingga gajian nanti.”
“Tidak usah dipikir. Sedekah saja nanti pasti Allah ganti.”

Baca juga: Sedekah Dibalas 1000 Kali Lipat

Abdullah sempat berpikir beberapa saat. Keraguannya lenyap setelah Rijal dan Muslim terus menerus memotivasinya. Akhirnya ia masukkan 150.000 itu ke dalam kotak infak di kantornya.

Keesokan harinya, Abdullah tiba di kantor dengan mengendarai motornya. Wajahnya tampak sumringah.

“Sudah ketemu?”
“Alhamdulillah, sepulang kerja ada teman ngabari kalau melihat motor saya di pelabuhan. Saya langsung ke sana dan ambil motor itu.”
“Kok bisa di sana?”
“Nggak tahu, mungkin mau dilarikan ke luar pulau.”
“Pelakunya bagaimana?”
“Tidak ketemu. Yang penting motor ini telah kembali.”
“Alhamdulillah, berkah keutamaan sedekah. Lanjut traktiran dong,” Rijal menggoda. Muslim dan Abdullah tertawa. [LAZ Ummul Quro]

Pin It on Pinterest

Share This