Sejarah umat Islam generasi awal dipenuhi dengan kemuliaan yang gilang gemilang. Termasuk dalam hal kedermawanan. Tak hanya pada generasi sahabat, generasi tabiin juga kita dapatkan demikian. Kisah sedekah Al-Laits bin Sa’ad merupakan salah satunya.
Al-Laits bin Sa’ad Al-Mishri adalah salah seorang tabiin yang alim sekaligus kaya raya. Ia berasal desa Qalqasyandah, Markaz Taukh, Qalyubiyah, Mesir. Hafal Al-Qur’an sejak usia 10 tahun. Diminta mengajar sejak usia 16 tahun.
Sejak muda, ia mewarisi kekayaan dari ayahnya. Lalu hartanya berkembang semakin berkah. Ketika harta yang banyak itu bertemu dengan pribadi yang dermawan, maka kisah-kisah sedekah yang luar biasa pun tertorehkan.
Ketika berusia 20 tahun, Al-Laits pergi haji. Sejak saat itulah ia bertemu Malik bin Anas dan keduanya pun sering berdiksusi. Kelak, keduanya menjadi ulama besar kebanggaan umat ini.
Al-Laits tahu kondisi Malik bin Anas yang terbatas secara ekonomi. Ia ingin membantunya tapi masih mencari bagaimana caranya. Hingga suatu hari, ketika Malik bin Anas mengiriminya satu nampan kurma, Al-Laits mengembalikan nampan itu dipenuhi dinar. Lantas ia pulang ke Mesir.
Malik dan Al-Laits kemudian berkorespondensi melalui surat. Al-Laits terus menerus membantu Malik. Secara rutin, ia mengirimkan seratus dinar per tahun. Belum termasuk pemberian insindental. Misalnya Malik pernah menulis surat bahwa ia mempunyai hutang satu dinar. Al-Laits kemudian mengiriminya uang 500 dinar.
Al-Laits memiliki rumah besar dengan dua puluh pintu. Di dalam rumahnya ada taman indah yang aroma wanginya tercium hingga ke jalan. Al-Laits juga membangun perpustakaan besar yang penuh buku di dalam rumah itu. Ia rutin mengundang teman-teman dan orang yang suka membaca. Di sana, mereka dijamu makan bersama. Uniknya, dalam hidangan itu Al-Laits menyelipkan dinar. Sehingga siapa saja yang membaca dan makan lebih banyak, akan mendapatkan dinar lebih banyak.
Saat mengetahui rumah Ibnu Luhainah terbakar, Al-Laits mengirimkan uang kepadanya 1.000 dinar. Jika melihat ada ulama berdakwah di masjid, Al-Laits segera menemui ulama tersebut lalu memberinya uang ratusan dinar.
Tak hanya dermawan kepada teman-temannya sesama ulama. Al-Laits juga suka membagikan makanan dan pakaian untuk orang-orang yang membutuhkan. Setiap hari, ia memberi makan 300 fakir miskin.
Kedermawanan Al-Laits tidak hanya terkenal di kalangan tetangga. Orang dari luar daerahnya pun merasakan kebaikan ulama tabiin itu. Sebab ia memberi pengemis lebih banyak dari yang mereka pinta. Ia juga tidak pernah menolak orang yang minta bantuan kepadanya. Pernah seorang wanita menyampaikan suaminya sedang sakit.
“Wahai Abu Al-Harits, suamiku sedang sakit dan ada yang menyarankannya untuk minum madu. Namun, aku tidak bisa membelikannya.”
“Pergilah kepada Abu Qasimah. Katakan kepadanya untuk memberimu satu mathar madu.” Wanita tersebut kaget. Ia hanya mengharap satu botol kecil madu, tetapi Al-Laits memberinya satu galon.
Sebagian ulama seperti Ibnu Ramih mencatat, setiap tahun tak kurang dari 20.000 dinar Al-Laits keluarkan untuk sedekah. Bahkan, Salim bin Manshur menyebut, setiap tahun tak kurang dari 50.000 dinar Al-Laits keluarkan untuk sedekah.
Kisah ini menjadi bukti indahnya Islam. Sekaligus menjadi bukti, bahwa sedekah tidak mengurangi harta apalagi membuat miskin. Semakin banyak sedekah, justru harta Al-Laits semakin banyak dan berkah. [MBK/LAZ Ummul Quro]