Oleh : DR. H. Ahmad Syakur, LC. MEI
Ketua Dewan Pengurus LAZUQ
Pengelolaan zakat pada masa sebelum kemerdekaan
Pengelolaan zakat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proses Islamisasi yang terjadi pada abad ketujuh masehi. Melalui perantara saudagar, dai dan sufi dari Jazirah Arab, India dan Persia, Islam mulai menjadi agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang sudah berinteraksi dengan mereka. Bermula dari masyarakat pesisir di wilayah utara Indonesia, Aceh dan terus menyebar menjadi agama mayoritas di Indonesia. Dengan pendekatan kultural yang sudah ada yaitu Hindu dan Budha, Islam berkembang di Indonesia. Sehingga sebagian ajaran Islam ada yang terkontaminasi dengan budaya tersebut. Hal ini juga mempengaruhi pengamalan ajaran Islam oleh pemeluknya. Ada istilah kaum Islam abangan dan kaum santri. Kesadaran masyarakat terhadap zakat tidak sejalan dengan kesadaran terhadap sholat dan puasa. Zakat hanya dimaknai sebagai zakat fitrah pada bulan Ramadhan dan dikelola secara individu.
Proses islamisasi di Indonesia yang secara kultural berbeda dengan Islamisasi di Arab dan Timur tengah, yang banyak Islamisasi secara struktural. Hasilnya jika di Arab dan Timur tengah, ajaran Islam sudah terintegral dengan politik dan negara, sementara di Indonesia tidak. Di dunia Arab dan Timur tengah pada umumnya negara mempunyai peran sentral dalam pelaksanaan ajaran Islam yang bersifat publik, termasuk zakat. Sementara di Indonesia, peran itu banyak diambil oleh masjid-masjid. Karena ketika Islam datang, di Indonesia sedang berkuasa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Kaum pedagang Arab yang menetap di pesisir kemudian menyebarkan Islam menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas keagamaan yang tidak tersambung dengan pusat kerajaan. Jadilah dalam pengelolaan zakat di Indonesia, masjid menjadi pusat kegiatan yang bersifat mandiri.
Ketika lahir kerajaan-kerajaan Islam di tanah air, aktifitas pengelolaan zakat sudah berjalan di masjid-masjid dan kebanyakan hanya terbatas pada zakat fitrah. Kebanyakan kerajaan Islam belum sampai mengakomodasi aturan zakat dalam sistem pemerintahan kerajaan, sebagaimana yang ada di negara-negara Arab. Kerajaan hanya melakukan himbauan-himbauan saja yang tidak mengikat dan tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Pelaksanaannya tetap dimasjid-masjid dan membuka ruang yang sangat luas untuk membayar zakat secara pribadi langsung kepada mustahik.
Pada masa penjajahan Belanda, kondisi ini tetap dipertahankan. Melalui pengaruh C. Snouck Hurgronje dalam “Politik Islam”, Belanda membatasi perkembangan Islam karena dianggap membahayakan pemerintahan Belanda. Masyarakat Indonesia dikenalkan dengan pemahaman bahwa Islam adalah ibadah ritual yang terpisah dari kehidupan. Pemerintah tidak boleh campur tangan dalam masalah keagamaan.Tak terkecuali dengan zakat, Belanda juga membuat kebijakan untuk memperlemah pelaksanaan zakat. Belajar dari pengalaman tentang masyarakat Aceh, Belanda menganggap zakat adalah diantara faktor yang menyebabkan kesulitan menduduki Aceh. Masyarakat Aceh menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang dengan Belanda.
Pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah, termasuk priyayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. Kebijakan ini dikeluarkan karena khawatir dengan perkembangan Islam dan upaya untuk memisahkan agama dari urusan kehidupan. Kebijakan ini mengubah praktek pengelolaan zakat di Indonesia saat itu. Kesadaran masyarakat untuk berzakat menjadi menurun dan sebagian lagi menyerahkan zakat mereka ke individu ulama dengan harapan mendapat syafaat dari Allah Yang Maha Kuasa.
Fenomena ini terus berlangsung sampai abad ke sembilan belas. Merespon praktek pengamalan zakat yang tradisional ini, Muhammadiyah mempelopori perubahan pengelolaan zakat dengan membentuk lembaga amil zakat tersendiri. Lembaga tersebut khusus mengurusi zakat, infak, sedekah dan wakaf serta menyalurkannya kepada pihak yang berhak, terutama fakir miskin. Pada masa selanjutnya, pengelolaan zakat mulai menggerakkan ekonomi dengan membentuk koperasi-koperasi, pendidikan, kesehatan dan usaha produktif lainnya.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah mulai ambil bagian dalam pengelolaan zakat. Hal itu ditandai dengan dibentuknya MIAI (Majlis ‘Islam Ala Indonesia). Pada tahun 1943, MIAI membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi. Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI sendiri, Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh. Safei, K. Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto. Gerakan secara massif pun dilakukan. Upaya-upaya itu rupanya tidak sia-sia, sebab dalam jangka waktu yang singkat, -hanya beberapa bulan saja-, Baitul Mal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang membubarkan MIAI.[1]
Namun secara umum pengelolaan zakat sebelum kemerdekaan masih sangat lemah dan hanya berporos pada zakat fitrah. Hal ini disebabkan setidaknya oleh dua hal, yaitu: Pertama, pemahaman umat islam yang belum utuh terhadap syareat zakat. Karena Islam datang secara kultural dan sebelum para dai mengajarkan ajaran Islam tuntas, umat islam sudah disibukkan dengan perjuangan melawan penjajahan selama lebih dari 3,5 abad. Kedua, tingkat ekonomi umat Islam yang sangat rendah pada masa penjajahan. Imperialisme telah menjadikan kebanyakan masyarakat Indonesia berada di bawah kemiskinan. Akibatnya zakat mal tidak banyak dikenal, hanya zakat fitrah yang dikenal. Bagaimana mau berfikir untuk membayar zakat mal, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih kurang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyai kekayaan lebih, itupun sangat sedikit sekali. Mereka membayar zakat secara individu.(*)
[1] Moch. Arif Budiman. “Melacak Praktik Pengelolaan Zakat Di Indonesia Pada Masa Pra-Kemerdekaan,” Jurnal Khazanah (IAIN Antasari, Banjarmasin), Vol. IV, No. 01, Januari-Februari 2005, 4-12.