Hai, ….
Perkenalkan sepotong hati yang ada di tubuh kita adalah surga dari masa depan. Namanya, Amil Zakat. Tidak banyak yang saat kecil bercita-cita jadi Amil Zakat. Akan tetapi, begitu kun fayakun berbunyi itulah saat di mana pintu surga terbuka.
Dear, Amil Zakat
Saya pernah mengeluh kepada seorang ustaz karena sejak menjadi amil hari-hari Ramadhan saya seolah tidak maksimal. Saya iri saat yang lain bisa i’tikaf 10 hari penuh tetapi saya sibuk lembur kerja. Saya merasa tidak maksimal menghidupkan malam-malam Ramadhan karena jam kerja lebih panjang dan ada saja urusan kerjaan. Parah lagi, malam terakhir Ramadhan. Keluarga, tetangga, teman-teman riang merayakan takbir keliling tetapi saya justru sibuk keliling menuntaskan amanah zakat fitrah. Saya mengeluhkan, kenapa profesi yang dekat dengan ketauhidan ini justru tidak membuat ibadah Ramadhan saya maksimal.
Mendengar keluhan saya yang emosional dan hampir menangis, beliau menyampaikan, “Kelak ada berbondong-bondong mukmin yang masuk surga melalui jalur pintu ahli puasa. Tidak kalah ramai rombongan yang masuk melalui jalur pintu ahli quran. Banyak lagi yang melalui pintu sedekah, dan lain-lain.”
Jujur, mendengar itu saya semakin ingin menangis.
Beliau melanjutkan, “Tapi ada satu lintasan yang sepi… hampir-hampir tidak ada yang melintas. Pintu surga itu terbuka lebar tetapi sepi, yaitu pintu surga jihad fii sabilillah.”
“Pekerjaan amil (zakat) itu pejuang di jalan Allah SWT. Sekali-kali jangan remehkan. Amil itu yang dikerjakan, yang diperjuangkan, dan yang dilakukan bukan untuk perutnya sendiri biar kenyang. Perut orang lain diurusi, kepentingan umat dilancarkan dan dimudahkan, ada yang lebih mulia?”
Saya diam. Mata yang mengembun mulai meneteskan air perlahan.
“Rawat niat dan bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Saya mendoakan kelak di jalur pintu surga yang sepi itu juga diisi para pejuang zakat,” Pungkas beliau yang ditutup dengan isak tangis saya dan beberapa amil yang datang silaturrahim saat itu.
Dear, Amil Zakat…
Tahun 2014 saat saya baru beberapa hari bekerja sebagai amil zakat, saya dibuat tertegun dengan hadirnya seorang ibu bersama anak laki-laki yang masih memakai seragam SMA ke kantor. Ibu yang adalah tulang punggung keluarga itu bercerita tentang prestasi sang anak yang sangat paradoks dengan kemampuan finansial mereka. Tunggakan sekolah beberapa ratus ribu harus dibayar dan mereka berharap ada bantuan.
Sepulang mereka, dari balik jendela kaca saya mengamati bagaimana anak laki-laki itu mengenakan sepatu yang telah koyak di hampir seluruh bagiannya. Dia mengalunkan pedal kuat-kuat dengan ibunda diboncengan sepeda tua. Saya merasakan benar bagaimana nuansa hati saat kondisi butuh, harus meminta, dan pulang dengan sebuah harapan. Sesak.
Beberapa jam berlalu, di hari yang sama saya kembali dibuat tertegun dengan hadirnya sebuah mobil merah dengan logo mentereng, Mercedes Banz. Pengemudi masuk kemudian dengan singkat beliau menyodorkan amplop sembari berkata, “Saya bayar zakat. Tolong diterima ya,”
Gugup bercampur menahan air mata saat saya menghitung lembar demi lembar uang dua puluh juta rupiah. Saya memroses pembayaran zakat dengan menahan tangis haru. Saya merasakan bahagianya merayakan dampak. Zakat dua puluh juta menjawab cita-cita yang dibawa oleh penunggang sepeda tua. Saya bahagia berada di tengah-tengah antara cita-cita yang diperjuangkan dengan ketulusan berderma.
Dear, Amil Zakat…
Saya yakin kisah-kisah semacam itu banyak, bahkan sering kita alami langsung. Narasi kebermanfaat dan pelipur tentang keberkahan terus kita dengarkan. Akan tetapi, apakah kita sadar, bahwa itu adalah surga dari masa depan yang dihadirkan Allah SWT untuk kita?
Surga dari masa depan didatangkan untuk kita: Melalui profesi yang melembutkan hati karena dekat sekali dengan pembelajaran tentang sabar dan syukur, melalui profesi yang tidak hanya memberi ruang mengembangkan potensi diri tetapi juga kekondusifan dalam merawat dan meningkatkan kualitas iman dan takwa kita.
Surga dari masa depan didatangkan untuk kita: Berupa rezeki yang tidak bisa diuangkan. Nikmat sehat, iman, anak-anak yang berbakti, pasangan yang menentramkan, orang tua yang menyejukkan, tetangga yang menjaga, rekan kerja yang meringankan, jejaring orang-orang baik, urusan yang penuh kemudahan, teman-teman yang saling menjaga dan positif. Hingga, doa-doa dari mustahik yang begitu sabar, tulus, dan qanaah.
Menjadi amil zakat membuat kita menyadari betapa kebaikan itu berdampak. Seorang diri belum tentu mampu membantu jutaan nyawa, seorang diri belum pasti bisa berderma milyaran harta, dan seorang diri terlalu kecil menuntaskan masalah kemasyarakatan yang kompleks.
Menjadi amil zakat membuat kita menyadari bahwa keterbatasan kita bisa menjadi bagian dari proyek besar pengentasan kemiskinan. Kelemahan kita mampu menghidupkan semangat perut-perut yang lapar, pendidikan yang hampir terputus, hingga peradaban yang harus diselamatkan. Harta di kantong kita tidak seberapa tetapi menjadi amil zakat membuat kita hadir menyalurkan milyaran harta untuk umat lebih berdaya. Bahkan, untuk perdamaian dunia. Oleh karena itu, amil zakat layak merasakan bahagianya merayakan dampak.
Wahai, Amil Zakat!
Milikilah cara pandang untuk terus merasakan bahagianya merayakan dampak dalam menjalankan aktivitas sebagai amil zakat. Cara pandang yang mungkin sederhana tetapi cukup bersahaja merawat niat dan kesungguhan kita menuju surga yang mungkin melalui pintu yang sepi itu.
Mari bersama merasakan bahagianya merayakan dampak.[]
Tulisan Syilviya Romandika, Amil LAZ Ummul Quro yang dipersembahkan untuk seluruh amil zakat Indonesia.

