Syilviya Romandika
www.sudutide.com IG : @syilviya.romandika

Jika hari ini adalah berduka, maka Karman jawabannya. Rumah sepetaknya yang sederhana itu riuh manusia, namun tak ada tawa dalam bentuk sekecil apapun. Sebaliknya, teriakan yang saling bersahut-sahutan, bahkan bertabrakan tak berirama itu kencang terlontar. Pekikan ancaman dan sumpah serapah bertalu-talu menghujani namanya.

Pemandangannya menjadi lebih buram dengan adanya kertas-kertas karton yang bertuliskan kalimat buruk. Bagi Karman sangat mudah untuk tidak membaca membaca tulisan-tulisan itu diantara teriakan dan umpatan, namun hatinya mulai membenarkan alasan tulisan itu dibentangkan. Lebih membenarkan lagi adalah hatinya saat membaca kalimat-kalimat itu. Terpendek adalah kalimat ‘Lurah Bejat’. Baginya, ini benar-benar terasa kebenarannya.

“Aku malu jadi anakmu!”

Teriakan itu terus menerus bergelayut mengiris hatinya. Bangga yang ia harap sebagai seorang bapak bagi anaknya kini musnah dalam hitungan sekejap. Anak satu-satunya yang selama ini mengaguminya berani bilang ‘Aku malu jadi anakmu’ di depannya langsung, bahkan tanpa rasa hormat sedikitpun. Ya, kehormatannya sebagai lurah runtuh, disusul robohnya kehormatan sebagai seorang bapak bagi putri semata wayangnya.

“Dia masih anak-anak, jangan dipikirkan!” Kata Hendro sambil menupuk bahu Karman.

Sayangnya, Karman tidak sepakat dengan Hendro. Bagi Karman, Ningrum, anaknya yang berusia jelang 25 tahun itu bukan lagi anak-anak. Sejak istrinya meninggal karena kecelakaan, dia telah membesarkannya sendiri. Saat itu Ringrum baru menginjak usia 5 tahun. Mana mungkin 20 tahun dalam asuhannya Karman tidak mengenali anak perempuannya itu?

Hari ini, anak yang dia besarkan tanpa istrinya itu marah bahkan berteriak padanya dengan kalimat ‘Aku malu jadi anakmu’. Jelas Karman gontai.

“Kamu mau kemana?”

Tanya Hendro tak lagi berguna, Karman hanya diam, kemudian beringsut ke kamarnya.

Kamar yang tak luas itu tentu tak mampu meredam berbagai suara, namun yang lebih penting adalah Karman tidak berhasil meredam gejolak hatinya.

Menjadi duda di usia muda dengan seorang anak perempuan yang masih kecil saat itu bukanlah mudah bagi Karman. Dalam kesepiannya ia jatuh bangun hidup bersama anaknya, Ningrum. Warga kampungnya sangat empati dengan Karman yang begitu baik mewarat anaknya seorang diri. Apalagi para ibu-ibu, betapa mereka kagum dengan Karman yang memilih tidak menikah lagi dalam mengasuh anaknya.

Lelaki tanpa modal sepeser rupiah itu akhirnya menyandang gelar Lurah (Kepala Desa) di usia yang relatif muda kala itu. Tanpa sepeser rupiah sebab ia memang miskin papa. Kesedehanaan dan kerja kerasnya yang telah mencuri hati warga kampung yang menjadikannya maju dan menang di Pilkades kampungnya.

Kini Karman telah memasuki periode keduanya menjadi Lurah, namun kini ia harus menerima potes dari warganya. Karman ketahuan korupsi. Meski hanya tingkatan lurah, korupsi tetap saja korupsi, tidak bisa dimaafkan.

Yang paling terpukul adalah Ningrum. Bagi Ningrum, Karman adalah bapaknya yang ia banggakan. Teladan yang baik selalu ia dapatkan dari bapaknya, namun kini ia harus menerima kenyataan bahwa bapaknya telah menyalahgunakan amanat warga kampung.

Karman tak henti mengumpat dirinya sendiri. Satu sisi ada sesal di hatinya, mengapa hal konyol yang penuh dosa itu dia lakukan untuk kesenangan beberapa saat saja. Namun di sisi seberang hatinya membela, bukankah semua ini dia lakukan untuk kebahagiaan anaknya. Ningrum sukses lulus terbaik di PTN ternama pakai uang siapa, Ningrum bisa naik motor bagus, handphone dan laptop canggih dengan uang apa?

“Uang Dosa!” Sebuah suara dari sudut hatinya berteriak.

Tubuh Karman kini meringkuk di sudut kamar, dia mulai menangis sesenggukan seorang diri. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyerangnya hingga ia kalut. Tubuhnya semakin menggigil saat ia mengeram agar tangisnya tertahan. Berontak emosi ingin disembunyikan, namun cermin di sisi pintu memergokinya. Sebuah wajah dengan ekspresi takut yang tidak lagi terbantahkan, namun kegoisannya untuk mengakui kelemahan itu terlalu tebal.

“Aku malu jadi anakmu!”

Suara parau Ningrum kembali memenuhi pendengaran Karman. Suara itu menusuk-nusuk luka hatinya yang baru saja menganga lebar. Jika biasanya Karman bahagia mendengar suara anak gadisnya itu, maka kali ini ia mengalami ketakutan yang luar biasa.

Dia ingin kabur, pergi jauh sejauh-jauhnya. Bukan untuk lari dari demonstrasi warga kampungnya yang sedang terjadi di teras depan, bukan untuk pergi dari tulisan ‘Lurah bejat” yang terpampang di depan rumahnya, bahkan bukan untuk menghindari rasa takutnya. Karman hanya ingin lari dari kekecewaan yang dirasakan Ningrum terhadapnya.

“Man, Buka pintunya!”

Suara Hendro hening tak terjawab. Sekuat tenaga ia membuka paksa pintu kamar Karman. Setelah berhasil, kamar yang terbuka itu tak lagi memeluk Karman. Sudut tangis sesenggukan Karman telah senyap, cermin yang menangkap ekspresi ketakutan itu juga telah lengang. Menyisakan jendela yang simetris dengan pintu telah lapang terbuka.

Karman pergi.

Entah para warga kampung masih setia di teras rumah Karman ataukah mereka telah pulang itu tidak lagi penting bagi Karman. Lebih tidak penting lagi tentang kertas-kertas karton bertuliskan macam-macam itu bagaimana kondisinya, apakah ia masih di pegang warga dengan posisi dihadapkan ke rumahnya ataukah sudah dibawa pulang dan dibuat mainan oleh anak-anak kecil di kampung, atau bahkan sudah dijadikan bahan bakar tungku untuk memasak nasi agar mereka bisa makan siang dengan tenang sekalipun lurah mereka bejat.

Sekarang semua itu tak lagi penting bagi Karman. Kepentingan baginya kini adalah berlari sekencang mungkin agar kata-kata Ningrum tak mengikutinya, tak terdengar olehnya, senyap, musnah, dan terdengar olehnya.

Lelah Karman berlari, ia melompat ke angkot yang tengah berjalan pelan usai menurunkan penumpang.

“Woi, nekat! Jatuh baru tahu rasa!” Kenek angkot marah.

Tapi Karman tak lagi peduli. Dibalik topi dan kain yang menutup wajahnya hampir sempurna itu, ia terus mengusir suara kecewa Ningrum.

Dari angkot, Karman beralih ke sebuah bus. Nyaris ia tak memilih bus apa dan tujuan kemana yang dia naiki. Baginya benar-benar tak penting semua itu. Intinya, Karman ingin kekecewaan Ningrum pergi dari perasaannya.

Bus telah berganti angkot kembali. Tapi angkot kali ini berbeda dari sebelumnya. Tidak ada lagi kenek yang marah-marah, sebab angkot ini tak berkenek. Hanya seorang supir yang usianya cukup senja untuk bekerja apalagi sebagai seorang sopir.

Oranye langit sore mulai menyibak hari dengan gagah. Seturunnya dari bus kemudian beralih ke angkot Pak Tua ini ternyata Karman tak berteman, dia menjadi penumpang tunggal di bangku belakang. Lagi-lagi, kondisi ini tak berarti baginya, masih sama, sebab ia sibuk mengusir kecewa Ningrum dari perasaannya.

Angkot Pak Tua sukses membawanya menempuh tempat yang jauh, keluar dari kotanya puluhan kilometer, namun suara kecewa Ningrum turut terbawa enggan hilang. Bahkan saat alunan suara adzan menggema, masih saja bercampur samar-samar kekecewaan itu.

“Bapak mau kemana?” Tanya sopir angkot usai mematikan mesin angkot.

Karman hanya diam menjawab Tanya si sopir.

“Bapak mau kemana?” Sopir angkot itu bertanya kembali.

Lagi-lagi tidak terjawab.

Pak Tua mulai turun dari angkot, mengebaskan bajunya kemudian menenteng kantong kresek berisi sarung dan kofiah hitam.

Karman masih tak bersuara, ekor matanya kini mengikuti langkah si sopir yang bergerak memasuki serambi masjid. Karman tersadar, angkot yang ia duduki kini sedang terparkir di halaman masjid. Alunan ‘puji-pujian’ sebagai jeda adzan dan iqomat tengah terdengar meski suara kecewa Ningrum masih mendominasi.

Sosok sopir tua itu kembali muncul, ia melongok ke angkotnya yang masih berisi Karman. Tubuhnya telah disegarkan dengan air wudhu, bahkan mungkin air mandi. Baju kerjanya pun telah berganti dengan sarung dan kofiah yang melengkapi kesiapannya beribadah.

“Tidak sholat?” Tanya si sopir sedikit kencang, mengimbangi suara dari speaker masjid.

Karman termangu sempurna dengan pertanyaan itu. Ada rasa malu untuk mendekatkan kata sholat ke lembaran hidupnya sekarang.

 “Aku takut kamu meninggal di angkotku dalam kondisi tidak sholat!” Kata si sopir lagi.

Deg!

“Orang hidup itu harus bertanggungjawab. Salah satu cara bertanggung-jawab ya dengan sholat.”

Suara sopir tua itu menggema, diantara ‘puji-pujian’ dari masjid dan kecewa Ningrum yang masih digenggam hati Karman. Bergulung-gulung suara itu di setiap sel tubuh Karman. Keinginannya untuk menepis suara kecewa Ningrum telah berhempasan dengan nasehat Pak Tua. Meski ego Karman tampil menghela, namun sepertinya ia tak lagi bertenaga.

Sesak yang dirasakan Karman terbuncah dengan sebuah pengakuan, “Saya ingin taubat.”

Sopir angkot itu tertegun, setelah itu ia mengangguk perlahan.

Di depannya telah tampak Karman mengusap wajahnya dengan kasar. Bibirnya bergetar dan matanya berurai tangis yang tak terbendung lagi. Berkali-kali hatinya merintihkan istighfar.

Memekikan telinga, kini iqomat terdengar. Seketika gundah hati Karman teduh. Dia bersegera mengubah duduknya menjadi langkah-langkah penuh semangat menuju Rabb-nya.

Di jajaran jamaah sholat kini ada hati Karman yang penuh pertaubatan sedang menghadap Tuhannya. Hati yang tercerahkan, ternyata tidak ada kebahagiaan di jalan dosa ini. Bahwa seharusnya membahagiakan orang tercinta itu bukan dengan jalan yang menuai dosa, sebab cinta dan dosa tidak bisa bercampur. Jiwa itu tahu dengan pasti taubatnya mengandung konsekuensi, namun ia lega, setidaknya ia telah memulai untuk berbenah dan memperbaiki.[]

Cerpen ini pernah dimuat di Radar Jombang Edisi 18 Maret 2018

Pin It on Pinterest

Share This